BNP2TKI, 2011. Diambil dari buruhmigran.or.id |
Potret Pelayanan Publik dan Perlindungan terhadap TKI
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang sulit untuk dipisahkan. Jika suatu saat nanti benar-benar tak ada lagi ‘generasinya’ lalu habis, mungkin akan terasa ada sesuatu yang kurang di Nusantara ini. Berangkat dari hal itu, agaknya segala sesuatu yang menyangkut TKI mesti mendapatkan porsi perhatian yang lebih, baik dari publik lebih-lebih pemerintah.
Posisi pelayanan publik sejatinya dihuni oleh pemerintah, yang mana kemudian bertugas mengakomodir, merumuskan, dan mendistribusikan pelayanan atas warga atau publlik yang dinaungi, dalam hal ini terutama bagi TKI. Sayangnya, banyak pelayanan publik justru lebih mengandalkan kewenangan serta bisnis, sehingga proses migrasi (mulai dari perekrutan, penempatan, hingga kepulangan dari luar negeri) menjadi penuh masalah. Realita ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun oleh pemerintah melalui berbagi instansi terkait tidak berjalan optimal. Artinya, di satu sisi mereka lihai dalam merancang aturan, akan tetapi di lain sisi tidak ada ketegasan untuk memisahkan kepentingan bisnis pada wilayah layanan publik penempatan maupun perlindungan terhadap TKI. Kondisi tersebut diperparah dengan minimnya koordinasi antar instansi atau lembaga terkait yang terlibat dalam proses penempatan TKI.
Adanya aspek bisnis dalam pelayanan publik secara otomatis akan memunculkan ketidakjelasan mengenai besaran biaya penempatan TKI di luar negeri. Karena berada pada posisi yang membutuhkan pelayanan, bukan mustahil TKI suka tidak suka mesti menyetujui segala sesuatu yang telah ditetapkan. Akhirnya, keadilan bagi para TKI menjadi kabur lantaran semakin sedikit bentuk pelayanan yang berpihak kepada mereka.
Kurangnya koordinasi antar instansi atau lembaga terkait pun memiliki efek yang serupa. Alih-alih mengatasi, berbagai layanan publik yang berjalan sendidi-sendiri malah menambah kesemrawutan TKI dalam menyelesaikan urusannya. Belum juga dapat bekerja, sudah dibingungkan dengan perbedaan-perbedaan tata kelola instansi dan lembaga pelayanan publik. Hasilnya, para calon TKI menjadi terkatung-katung tidak jelas.
Berangkat dari berbagai carut-marut dalam diri layanan publik, sudah menjadi sebuah keharusan bagi pemerintah untuk bersungguh-sungguh dalam memperbaiki pelayanan publik penempatan TKI. Dengan memperketat aturan main dan menjalankan sepenuhnya proses penegakan hukum, monopoli bisnis jasa ataupun makelar penempatan pekerja di luar negeri akan hancur. Selanjutnya, melalui ketiadaan bisnis menguntungkan pada mekanisme penempatan TKI, pemerintah akan lebih mudah dalam menyusun tata kelola penempatan TKI tanpa harus ada pihak-pihak yang dirugikan.
Landasan hukum perlindungan sosial untuk para TKI antara lain:
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783)
- Undang-undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azazi Manusia.
- Undang-Undang RI Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279)
- Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
- Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
- Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
- Keputusan Presidan Nomor 106 Tahun 2004 tentang Tim Koordinasi pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah dan Keluarganya dari Malaysia
- Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan
- Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor 05A/KEP/MENKO/KESRA/I/2009 tentang Satuan Tugas Pemulangan Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah serta Pekerja Migran Indonesia Bermasalah Sosial dan Keluarganya dari Malaysia
- Peraturan Menteri Sosial RI Nomor: 86/HUK/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial RI
(Sumber: Buku Petunjuk Pelaksanaan Perlindungan Sosial Pekerja Migran-Kemenakertrans RI-2011. Diambil dari http://buruhmigran.or.id)
Berikut adalah beberapa kisah memilukan yang dialami TKI:
- Tusriyati
Selama 2,5 tahun bekerja menjadi TKI di malaysia yang dibawa pulang bukannya uang berlimpah, melainkan tubuh yang kurus kering. Bahkan perutnya membesar seperti terkena penyakit busung lapar.
- Ajizah
TKI asal Kiajaran, Indramayu, Jawa Barat ini mendapat perlakuan kurang baik yang menjurus pada pelecehan seksual oleh majikannya di Oman. Lebih lagi, ketika Sang suami meminta tolong kepada KJRI Dubai, Ajizah malah disuruh untuk kabur. Sungguh solusi yang tidak logis.
- Marmi
TKI yang berasal dari Kediri, Jawa Timur ini meninggal dunia di Taichung pada hari Sabtu tanggal 10 Maret 2012. Ironisnya, selama 2 bulan jenazah Marmi tak juga dipulangkan dari Taiwan.
- Neneng
Setelah 6 bulan ditampung di Jakarta, pada 12 Desember 2007 Neneng diberangkatkan ke Arab Saudi. Suatu hari Neneng bermaksud meminta gajinya kepada Sang majikan. Alih-alih berharap memperoleh gaji, Neneng justru dipukuli dan dimaki-maki. Peristiwa yang tidak manusiawi itu terjadi berulang-ulang selama 2 tahun. Dan ketika Neneng kembali memberanikan diri menagih gajinya (karena mendapatkan kabar dari kampung anaknya sedang sakit dan akan operasi), bukan lagi pukulan yang diterima, melainkan siraman air keras.
Dengan adanya beberapa landasan hukum di atas, tentu menjadi hal yang aneh manakala berbagi aksi kekerasan terhadap TKI selama bekerja masih banyak, bahkan terus meningkat. Untuk itu, perlu kemudian dipertanyakan sejauh mana implementasi dari landasan hukum tersebut. Apakah hanya sebatas dibuat saja? Boleh jadi demikian, karena buktinya nasib tragis TKI tidak lekas berhenti.
Bentuk perlindungan terhadap TKI pada dasarnya terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu pada tahap pra penempatan, masa penempatan, dan purna penempatan. Ketiganya sama-sama vital mengingat memiliki pengaruh besar terhadap peruntungan TKI. Yang menjadi momok adalah kenyatan di lapangan ternyata menunjukkan masih terdapat problem-problem pada kesemua tahap perlindungan tersebut.
- Pra Penempatan
Permasalahan yang timbul seperti pemalsuan identitas, pemalsuan dokumen keberangkatan, bahkan hingga proses pemeriksaan kesehatan dan pembekalan atau pelatihan yang tidak cukup diberikan kepada calon TKI.
- Masa penempatan
Selama ini TKI nyaris hanya mampu mengisi bagian pasar tenaga kerja rendah (unskilled) dan mayoritas di sektor informal. Alhasil, bebagai kasus penganiayaan oleh majikan, gaji tidak dibayar, bekerja melebihi jam kerja, pembatasan komunikasi dengan keluarga yang ditinggalkan, pembatasan beribadah, paspor ditahan, pelecehan seksual sampai kasus pembunuhan sering terjadi.
- Purna Penempatan
Pada saat TKI kembali ke Tanah Air masalah yang terkadang tak bisa dihindari adalah penipuan, penganguran, disharmonisasi keluarga, pulang dalam keadaan sakit, maupun hamil dan menderita kecacatan.
Mengingat bahwa jumlah TKI yang tidak sedikit, maka sewajarnya perlindungan terhadap calon TKI harus ditingkatkan, bukan seperti sekarang yang terkesan justru semakin diabaikan nasibnya. Tanpa perlu bersusah payah mencarikan bukti, tentu kita semua telah mengetahui. Sebab apabila ada sedikit saja masalah berkaitan dengan TKI, berita itu akan segera dikupas oleh berbagai media di Tanah Air. Dan kiranya itulah salah satu jalan media massa dalam menunjukkan kepedulian juga perhatian mereka pada TKI, yakni melalui semacam kritik berupa berita kepada pemerintah agar segera bertindak. Tindakan media massa tersebut sebenarnya patut juga diacungi jempol karena bagaimanapun TKI adalah bagian dari bangsa Indonesia. Sedangkan Indonesia sendiri memiliki asas persamaan derajat serta prinsip mengakui dan menjunjung tinggi hak-kewajiban seluruh masyarakatnya. Nah, pelayanan serta perlindungan ialah sebagian kecil dari hak para TKI.
Berbagai nasib tragis TKI selama bekerja memang tak bisa disalahkan sepenuhnya kepada pemerintah maupun instansi terkait lainnya. Sebab tak sedikit dari TKI yang berangkat dengan status ilegal yang sekedar berbekal nekat. Namun, bukan pemerintah dan pelayanan publik yang bijak manakala problem TKI terus dibiarkan berlarut-larut begitu saja. Apalagi dengan jumlah penduduk yang kian meningkat, sedangkan keberadaan lapangan kerja begitu minim, tentu dapat diprediksi akan adanya peningkatan jumlah TKI pada tahun-tahun mendatang. Karena faktor tersebut, secara otomatis pemerintah mau tidak mau wajib memperbaiki kinerjanya. Kalau yang seperti saat ini saja sudah kewalahan, bagaimana kedepannya? Realita yang ada seyogianya menjadi bahan refleksi dan pelajaran, jangan kemudian berleha-leha sehingga mengakibatkan bertambahnya jumlah TKI yang menjadi korban kekerasan oleh majikannya.
Standarisasi pelayanan penempatan dan perlindungan TKI juga harus dibangun lebih sederhana, mudah, terpercaya, dan benar-benar mengacu pada 14 prinsip dasar, seperti yang disebutkan dalam pasal 4 UU Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik (antara lain kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan). Sedangkan penempatan TKI idealnya diposisikan sebagai pelayanan publik yang terbuka, bukan justru dijadikan sebagai lahan bisnis. Apabila harus dikelola oleh koorporasi atau pihak swasta, negara perlu melakukan penjaminan standar dan pengawasan yang berpihak kepada kelompok TKI, sebab TKI bukan komoditas ekonomi semata.
Bahan Artikel, ilustrasi, gambar: http://buruhmigran.or.id (*Update Agustus 2013, situs buruhmigran ketika dibuka, yang muncul tulisan: Error establishing a database connection
Bahan Artikel, ilustrasi, gambar: http://buruhmigran.or.id (*Update Agustus 2013, situs buruhmigran ketika dibuka, yang muncul tulisan: Error establishing a database connection
memang miris gan, korban dengan segitu banyaknya....
BalasHapusaduh pemerintah lagi,,,
bagaimana ini, bagaimana ini?
@Egiazwul Fikri: Mirisnya udah bukan main lagi, Gan. dah pol-polan. Intinya, mau tidak mau Pemerintah mesti segera memperbaiki kinerjanya, terutama menyangkut TKI.
BalasHapus