Cerita Pendek (Cerpen) Remaja
Penyesalan
Sungguh, akupun juga tak sudi jika disuruh jadi orang miskin. Namun apa boleh buat, semua itu sudah jalan takdirku sejak masih janin dulu. Hidup dirumah kumuh dan kecil dekat Kali Gajahwong telah kujalani. Pekerjaan ayah yang mengangkatku menjadi anaknya pun tidak bisa dibilang banyak menghasilkan uang. Terutama semenjak beliau dipecat dari sebuah perusahaan mobil terkemuka tiga tahun silam, karena dituding sebagai sang provokator perusahaan bangkrut. Padahal kata beliau padaku, itu bukan kesalahannya.
Ditengah kepedihan hidup itu, aku masih harus menuntaskan pendidikan dibangku SMA yang tinggal satu tahun lagi. Sadar betul aku, bahwa satu tahun tak bakalan nyaman dan mulus mengalir. Sebab, berdasarkan pelajaran pengalamanku, kerap kali cemooh, cela, gunjingan, dan segalanya yang membuat kesal kuterima dari nyaris semua siswa-siswi disekolah. Mereka memang mengerti benar tentang bagaimana keadaanku. Baju lusut, sepatu bolong, tas penuh jahitan, dan masih banyak lagi kata-kata yang keluar biasa dari mulut mereka untuk menertawaiku. Sebaliknya sebagai diriku pribadi, aku juga paham keadaan mereka yang jauh berbeda denganku. Mereka kaya raya. Gizi serba tercukupi, nafsu selalu terpenuhi, dan segalanya hingga mungkin tak ada yang terlewati. Sehingga tidak asing, bila mereka selalu tampil keren tanpa harus mati gaya layaknya aku.
Hari ini adalah pertama kali masuk sekolah setelah libur selama tiga minggu. Rasanya tiada jauh berbeda dengan kelas sebelumnya. Walupun sebagian teman kelas mengalami pergantian, aku yakin sifat mereka kela juga sama. Tak perlu heran, ini SMA siswa kaya, dan aku masuk serta belajar disini gratis-tis tanpa membayar sepeserpun. Hal itu karena beasiswa siswa teladan yang kusandang sejak SMP dulu. Jujur aku bangga olehnya, tapi tetap saja aku tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah ini. Lebih lagi disini aku sendiri yang boleh disebut sebagai siswa miskin. Dengan kata lain, miskin sekali.
Sekolah ini memang bukan pilihanku melainkan pilihan seorang ayah yang bukan merupakan ayah kandungku. Dan mungkin dosa bila dibantah. Jadi wajar kalau kini rasanya kecewa, sedih, dan berharap semua terulang kembali. Aku hanya ingin masuk kesekolah yang banyak siswa miskinnya. Sehingga sikap membeda-bedakan antar siswa miskin dan kaya yang kualami sekarang tidak ada. Dimana kemudian belajar menjadi lebih nyaman. Prestasi juga tak kan jadi impian hampa makna belaka.
“Heh, jangan bengong donk..!!! Dasar miskin..!!! Lapar...??? Jajan sana. Nich uangnya 400 perak..,” kata teman-teman dengan nada keras penuh ejekan saat jam istirahat.
“Tak perlu..!! Makan saja uang itu..!!! penuhi kebutuhan perut melarmu...!!!" responku keras seraya mendorong mereka dan beranjak keluar kelas.
Tiba-tiba bajuku ditarik oleh salah seorang dari mereka sambil menyebulkan asap rokoknya kearah mukaku. Mereka semua mulai menertawaiku. Entah apa mau mereka, yang pasti apapun itu aku tak akan menerimanya dengan tangan terbuka.
“Apa maksudmu perut melar, he...!!! Dasar miskiin...!!!”
“Hahaha.....Miskin..,” ejek teman sekongkolannya.
Satu pukulan mengenai tepat di pipi kananku. Pukulan kedua menghujam perut keonconganku. Aku coba bersabar saat itu, tapi mereka justru kian menjadi-jadi dengan mulai melontarkan ejekan padaku. Kali ini tidak kupedulikan apa maksud sebenarnya dari ucapan-ucapan kotor mereka, pokoknya telah membuat jengkel sekaligus amarah keluar. Disini dan saau ini juga yang jelas aku hanya memperjuangkan kehormatan Ayah angkatku, bukan maksud-maksud lain. Kurasa tumpahan darah merupakan cara paling tepat untuk menuntaskan masalah ini. Lagi pula aku bosan apabila harus bersabar-bersabar, dan terus bersabar.
Sepenuhnya kumenyadari bahwa tindakan tersebut bakalan menodai semua prestasi-presrasiku, membuat cita-cita lebih sulit tergapai, dan melahirkan problem-problem pelik kedepannya. Hingga bisa jadi beasiswaku akan dicabut. Jadi, tak kaget bila aku tidak dapat melanjutkan sekolah lagi.
“Mau jadi apa kamu ini...??? Sebagai Ayah, saya malu punya anak kayak kamu...!!! Aku kecewa telah mengangkatmu menjadi seorang anak...!!!” marah Ayah sambil memukuli tubuh ku yang kerempeng ini berkali-kali, setelah mendapat kabar dari guru BK.
“Maafkan Ardi, Pak. Ardi mengerti perasaan Bapak, tapi tolong maafkan saya. Ardi juga menyesal telah melakukan aksi dosa ini. Saya janji tak akan mengulangi lagi...”
“Bapak juga boleh membuang Ardi jika mau, bahkan bunuh saja Ardi untuk menembus penyesalan Bapak. Dan carilah anak angkat yang menurut Bapak lebih baik ketimbang Saya. Namun sebelum Ardi memulai perjalanan ngegembel lagi diluar sana, ada satu pesan buat Bapak : siapa pun anak angkat yang Bapak pilih, pastilah tidak akan rela hatinya jika telinganya mendengar Ayahnya dicela seenaknya saja.”
HIKMAH:
- Berani berbuat harus berani bertanggung jawab
- Penyesalan tidak akan menyelesaikan masalah, namun justru membah parah keadaan
- Sesama manusia semestinya tidak saling mencela dan menyiksa, karena cencerung melahirkan perpecahan
- Penyesalan itu datangnya diakhir, oleh sebab itu pikirkan 2 kali sebelum berbuat 1 kali
- Sebagai seorang pelajar seharusnya tidak mengupas masalah kaya atau miskin, gemuk atau kurus, cakep atau jelek, karena semua sama-sama ingin mencari ilmu.
Cerpen (Cerita Pendek) Remaja Indonesia: Pacar Baru
`-oh ya...maaf...
BalasHapus--Dah ku renovasi tuh sasaran linknya....
->Terima kasih banyak atas koreksi dan pemberitahuannya...
Bagus juga nih gan artikelnya,Hm. . .:-bd
BalasHapus